Industri pengolahan tuna di Bitung, Sulawesi Utara, telah menjadi salah satu sektor strategis dalam perekonomian daerah. Sebagai provinsi dengan produksi ikan terbesar di Indonesia, Bitung memiliki potensi besar untuk memperkuat posisinya sebagai pusat pengolahan ikan. Namun, proses pengembangan industri ini tidak lepas dari berbagai tantangan yang harus dihadapi. Dari sisi pasokan bahan baku hingga kebijakan pemerintah, setiap aspek berpengaruh pada stabilitas dan pertumbuhan industri pengolahan tuna di kota pelabuhan ini.
Potensi Besar Industri Pengolahan Tuna di Bitung
Bitung dikenal sebagai pusat perikanan yang kaya akan hasil laut, khususnya tuna. Produksi ikan olahan di Bitung berkisar antara 20 hingga 40 ton per hari, meskipun angka ini jauh lebih rendah dibandingkan pada 2014 yang mencapai sekitar 70 ton per hari. Penurunan ini disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk perubahan pola penangkapan dan distribusi ikan. Namun, potensi industri pengolahan tuna tetap sangat menjanjikan.
Berdasarkan data Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Bitung memiliki sebanyak 54 unit pengolahan ikan, termasuk pabrik kaleng, frozen tuna, fresh, dan smoke fish. Industri ini juga berkontribusi signifikan dalam ekspor ikan ke berbagai negara seperti Jepang, Amerika Serikat, dan Singapura. Dengan posisi geografis yang strategis, Bitung memiliki akses yang mudah ke pasar internasional, sehingga menjadi daya tarik bagi investor dan pelaku usaha.
Tantangan dalam Pasokan Bahan Baku

Salah satu tantangan utama yang dihadapi industri pengolahan tuna di Bitung adalah keterbatasan pasokan bahan baku. Produksi ikan tangkap di Bitung sering kali tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pabrik-pabrik pengolahan. Menurut Direktur Jenderal Perikanan Tangkap Zulficar Mochtar, produksi ikan di Bitung saat ini masih berlimpah, namun terjadi perubahan pola pemasaran yang membuat nelayan lebih memilih menjual ikan secara tunai, bukan melalui pabrik.
Selain itu, minimnya jumlah kapal ikan yang beroperasi di wilayah Bitung juga menjadi kendala. Hanya 21 kapal ikan berukuran 30 GT yang aktif beroperasi, sedangkan puluhan kapal lainnya masih menunggu izin dari KKP. Hal ini menyebabkan pasokan ikan terbatas dan mengakibatkan tingkat utilitas pabrik di bawah 20 persen dari kapasitas terpasang.
Peran Pemerintah dalam Regulasi dan Pengawasan
Pemerintah pusat telah memberlakukan kebijakan Penangkapan Ikan Terukur (PIT) yang bertujuan untuk mengendalikan penangkapan ikan secara proporsional. PIT diatur melalui Peraturan Pemerintah No. 11 Tahun 2023, yang membagi Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI) ke dalam enam zona. Setiap zona memiliki kuota penangkapan ikan yang ditentukan berdasarkan potensi sumber daya ikan.
Namun, kebijakan ini juga membawa tantangan tersendiri bagi nelayan dan pelaku usaha di Bitung. Nelayan seperti Alanuari Tamengge khawatir bahwa pembatasan wilayah penangkapan akan mengurangi ruang gerak mereka. Selain itu, proses pengurusan izin penangkapan ikan juga dinilai rumit, terutama bagi nelayan kecil yang tidak memiliki akses mudah ke kantor pemerintah.
Peluang Ekspor dan Pertumbuhan Ekonomi

Meski ada tantangan, industri pengolahan tuna di Bitung tetap memiliki peluang besar untuk berkembang, terutama dalam hal ekspor. Sulawesi Utara memproduksi sekitar 57.617 ton tuna pada tahun 2022 dengan nilai sebesar Rp2,641 miliar. Produk ikan olahan dari Bitung diekspor ke berbagai negara, termasuk Thailand, Amerika Serikat, dan Jepang.
Kebijakan PIT diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemasaran dan distribusi ikan. Dengan zonasi yang jelas, nelayan dan pelaku usaha bisa lebih fokus pada pengelolaan ikan sesuai kuota yang ditetapkan. Hal ini diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi di kota-kota perikanan di wilayah timur Indonesia.
Tantangan Teknis dan Infrastruktur
Selain regulasi, infrastruktur juga menjadi faktor penting dalam perkembangan industri pengolahan tuna di Bitung. Masih banyak daerah yang belum memiliki fasilitas pendukung seperti gudang penyimpanan dan transportasi yang memadai. Hal ini menyebabkan kesulitan dalam distribusi ikan ke pasar ekspor.
Selain itu, keterbatasan teknologi komunikasi di daerah kepulauan juga menghambat proses pengurusan izin dan kuota penangkapan ikan. Nelayan harus melakukan pengurusan secara langsung ke kantor pemerintah, yang memerlukan biaya tambahan.
Kesimpulan
Industri pengolahan tuna di Bitung memiliki potensi besar untuk berkembang, terlepas dari berbagai tantangan yang dihadapi. Dari sisi pasokan bahan baku hingga regulasi dan infrastruktur, setiap aspek memengaruhi stabilitas dan pertumbuhan sektor ini. Dengan dukungan pemerintah dan kolaborasi antara nelayan, pelaku usaha, dan pemerintah daerah, industri pengolahan tuna di Bitung dapat kembali bangkit dan menjadi salah satu pusat perikanan terbesar di Indonesia.

Tinggalkan Balasan